Rabu, 02 November 2011

HUBUNGAN STATUS GIZI, KONDISI FISIK IBU, DAN EFISIENSI REPRODUKSI

HUBUNGAN STATUS GIZI, KONDISI FISIK IBU, DAN EFISIENSI REPRODUKSI

Gizi atau makanan tidak saja diperlukan bagi pertumbuhan, perkembangan fisik dan mental serta kesehatan, tetapi diperlukan juga untuk fertilitas atau kesuburan seseorang agar mendapatkan keturunan yang selalu didambakan dalam kehidupan keluarga (Faath, 2005). Pada saat pasangan suami istri memutuskan untuk mempunyai anak, perlu segera mempersiapkan diri diantaranya mengatur asupan nutrisi yang adekuat untuk meningkatkan fungsi reproduksi sehingga dapat menunjang fertilitas atau kesuburan (Wendy, 1995).

Seorang ibu yang hamil harus memperhatikan status gizinya, karena status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. Namun sampai saat ini masih banyak ibu hamil yang mengalami masalah gizi khususnya gizi kurang seperti Kurang Energi Kronis (KEK) dan Anemia gizi (Depkes RI, 1996). Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa 41 % ibu hamil menderita KEK dan 51% yang menderita anemia mempunyai kecenderungan melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depkes RI, 1996). Selain itu juga akan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, masalah perilaku dan lain sebagainya (Depkes RI, 1998).

Gizi Kurang pada Ibu Hamil

Menurut Lubis (2003) Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin, seperti diuraikan berikut ini.

1. Terhadap Ibu

Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi.

2. Terhadap Perslinan

Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya (premature), pendarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan operasi cenderung meningkat.

3. Terhadap Janin

Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan kegururan , abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu hamil antara lain memantau pertambahan berat badan selama hamil, mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA), dan mengukur kadar Hb. Pertambahan berat badan selama hamil sekitar 10 – 12 kg, dimana pada trimester I pertambahan kurang dari 1 kg, trimester II sekitar 3 kg, dan trimester III sekitar 6 kg. Pertambahan berat badan ini juga sekaligus bertujuan memantau pertumbuhan janin. Pengukuran LILA dimaksudkan untuk mengetahui apakah seseorang menderita Kurang Energi Kronis (KEK), sedangkan pengukuran kadar Hb untuk mengetahui kondisi ibu apakah menderita anemai gizi.

Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan berat normal. Dengan kondisi kesehatan yang baik, system reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi pada masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar dan lebih sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan yang sebaliknya. Ibu dengan kondisi kurang gizi kronis pada masa hamil sering melahirkan bayi BBLR, vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu menderita anemia.

Anemia pada Ibu Hamil

Anemia dapat didefinisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada di bawah normal. Di Indonesia Anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan Zat Besi, sehingga lebih dikenal dengan istilah Anemia Gizi Besi. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme besi yang normal. Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 gr/dl selama trimester III.

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi. Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur juga lebih besar (Lubis 2003).

Resiko pada Ibu Hamil Kurang Gizi

Di Indonesia batas ambang LILA dengan resiko KEK adalah 23,5 cm hal ini berarti ibu hamil dengan resiko KEK diperkirakan akan melahirkan bayi BBLR. Bila bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) akan mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah resiko KEK pada ibu hamil sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus mempunyai gizi yang baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu sebelum hamil kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak beresiko melahirkan BBLR (Lubis 2003).

Hasil penelitian Saraswati E, dkk. di Jawa Barat (1998) menunjukkan bahwa KEK pada batas 23,5 cm belum merupakan resiko untuk melahirkan BBLR walaupun resiko relatifnya cukup tinggi. Sedangkan ibu hamil dengan KEK pada batas 23 cm mempunyai resiko 2,0087 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai LILA lebih dari 23 cm.

Sebagaimana disebutkan di atas, berat bayi yang dilahirkan dapat dipengaruhi oleh status gizi ibu baik sebelum hamil maupun saat hamil. Status gizi ibu sebelum hamil juga cukup berperan dalam pencapaian gizi ibu saat hamil. Penelitian Manik (2000) menunjukkan bahwa status gizi ibu sebelum hamil mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan status gizi kurang (kurus) sebelum hamil mempunyai resiko 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status gizi baik (normal).

Hasil penelitian Jumirah, dkk. (1999) menunujukkan bahwa ada hubungan kadar Hb ibu hamil dengan berat bayi lahir, dimana semakin tinggi kadar Hb ibu semakin tinggi berat badan bayi yang dilahirkan. Sedangkan penelitian Edwi Saraswati, dkk. (1998) menemukan bahwa anemia pada batas 11 gr/dl bukan merupakan resiko untuk melahirkan BBLR. Hal ini mungkin karena belum berpengaruh terhadap fungsi hormon maupun fisiologis ibu.

Pada ibu dengan anemia batas 9 gr/dl atau anemia berat ditemukan secara statistik tidak nyata melahirkan BBLR. Namun untuk melahirkan bayi mati mempunyai resiko 3,081 kali. Dari hasil analisa, riwayat kehamilan sebelumnya menunjukkan bahwa ibu hamil penderita anemia berat mempunyai resiko untuk melahirkan BBLR 4,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak menderita anemia berat. (di kutip dari Rusman Efendi)

Bioteknologi

Bioteknologi
Secara tradisional, pemuliaan tanaman, dan rekayasa genetika sebenarnya telah dilakukan oleh para petani melalui proses penyilangan dan perbaikan tanaman. Misalnya melalui tahap penyilangan dan seleksi tanaman dengan tujuan tanaman tersebut menjadi lebih besar, kuat, dan lebih tahan terhadap penyakit. Selama puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, para petani dan para pemulia tanaman telah berhasil memuliakan tanaman padi, jagung, dan tebu, sehingga tanaman-tanaman tersebut mempunyai daya hasil tinggi dan memiliki kualitas panen yang lebih baik.
Secara tidak sadar kita telah mengkategorikan tanaman-tanaman hasil pemuliaan tradisional padi, jagung, dan tebu, tadi sebagai tanaman yang bersifat 'alamiah', padahal penampilan fenotif maupun genotif tanaman-tanaman tersebut sudah jauh berbeda dibandingkan dengan kerabat alaminya yang asli yang tumbuh di alam bebas dan lebih mirip sebagai gulma atau malah tanaman kerabat alaminya tersebut sudah punah.
Proses pemindahan gen pada pemuliaan tradisional dilakukan melalui proses penyerbukan dengan perantaraan angin maupun bantuan serangga penyerbuk. Proses penyerbukan ini sering kali melibatkan bantuan manusia, misalnya melalui penyerbukan dengan cara memindahkan serbuk sari tanaman yang satu ke ujung putik tanaman lainnya.
Pada proses penyerbukan dengan bantuan manusia ini, tidak jarang jumlah kromosom (pembawa sifat) pada serbuk sari tersebut harus 'disesuaikan' terlebih dahulu oleh larutan pengganda kromosom seperti colchisine sehingga serbuk sari menjadi lebih kompatibel dengan tanaman betina melalui kepala putiknya. Upaya ini terus dilakukan secara berlanjut dalam bentuk penyelamatan embrio (embrio rescue) sehingga hibrida dapat bertahan (survive) dan tumbuh menjadi tanaman dewasa.
Pemuliaan tradisional telah banyak membantu meningkatkan produktivitas pertanian dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Data FAO tahun 1992 menunjukkan adanya peningkatan hasil biji-bijian (grain) dari rata-rata 1.1 ton per hektar pada tahun 1950 menjadi 2.8 ton per hektar pada tahun 1992. Namun karena jumlah penduduk masih jauh lebih besar dibandingkan dengan produksi pangan, peningkatan hasil pangan melalui proses pemuliaan ini masih terus dikembangkan.
Ahli demografi dari Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan jumlah penduduk dunia saat ini mencapai enam milyar orang, atau jumlahnya dua kali lipat dari jumlah penduduk 50 tahun yang lalu. Diperkirakan populasi dunia akan mencapai sembilan milyar pada 50 tahun mendatang (Population Division, 1999). Untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang populasinya terus bertambah dengan pesat ini, diperlukan lahan pertanian yang luas. Sementara itu ketersedian lahan untuk pertanian semakin lama semakin berkurang karena peruntukkannya banyak yang diubah menjadi lahan perumahan dan industri.
Oleh karena itu, diperlukan terobosan-terobosan di bidang teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian per unit lahan. Seperti diyakini para pakar, rekayasa genetika merupakan salah satu teknologi pertanian yang berpeluang dapat me-ningkatkan produktivitas pertanian (Swa-minathan, 1999, McGloughlin, 1999). Teknologi ini telah berkembang pesat selama kurun waktu lima belas tahun terakhir ini.
Prinsip rekayasa genetika sama dengan pemuliaan tanaman, yaitu memperbaiki sifat-sifat tanaman dengan menambahkan sifat-sifat ketahanan terhadap cekaman mahluk hidup pengganggu maupun cekaman lingkungan yang kurang menguntungkan serta memperbaiki kualitas nutrisi makanan. Perbedaan rekayasa genetika dengan pemuliaan tradisional adalah kemampuan rekayasa genetika dalam memanfaatkan gen-gen yang tidak dapat dipergunakan secara maksimal pada pemuliaan tradisional karena banyak gen yang terhalang saat penyerbukan.
Rekayasa genetika adalah kelanjutan dari pemuliaan secara tradisional. Tidak seperti halnya pemuliaan tanaman secara tradisional yang menggabungkan seluruh komponen materi genetika dari dua tanaman yang disilangkan, rekayas genetika memungkinkan pemindahan satu atau beberapa gen yang dikehendaki dari satu tanaman ke tanaman lain.
Pada pemuliaan tradisional diperlukan sedikitnya lima generasi penyilangan balik (backcross) untuk menghilangkan gen-gen yang tidak dikehendaki dan mungkin bersifat merugikan karena bertaut dengan gen yang diinginkan pada proses fertilisasi, sehingga pemuliaan tanaman secar tradisional memerlukan waktu yang lama.
Selain itu, pemuliaan tanaman tradisional memiliki keterbatasan dalam menggunakan sumber-sumber gen yaitu hanya sebatas menggunakan tananam yang bisa disilangkan saja. Misalnya, pemindahan gen yng toleran terhadap air asin dari tanaman manggrove famili Rhizophoraceae pada tanaman padi tidak mungkin dilakukan melalui proses penyilangan (Swaminathan, 1999).
Demikian halnya dengan pemindahan gen untuk provitamin A pada endosperma biji padi yang tidak mungkin dapat dilakukan secara tradisional. Keunggulan rekayasa genetika adalah mampu memindahkan materi genetika dari sumber yang sangat beragam dengan ketepatan tinggi dan terkontrol dalam waktu yang lebih singkat. Melalui proses rekayasa genetika ini, telah berhasil dikembangkan tanaman yang tahan terhadap organisme pengganggu seperti serangga, penyakit dan gulma yang sangat merugikan tanaman (James, 1998). Departemen Pertanian Cina telah melakukan penelitian dan pengujian lapangan terhadap 47 spesies tanaman transgenik dan 103 macam genetik (Zhang, 1999).
Di negara kita, LIPI telah berhasil memasukkan gen bioteknologi (Bt) pada padi sehingga padi tersebut menjadi tahan hama dan serangga. Rekayasa genetika juga membawa perbaikan kualitas seperti meningkatnya kandungan provitamin A padi (Ye dan kawan-kawan, 2000), menurunya kadar lemak jenuh pada minyak nabati (Lehrer, 1999) dan masih banyak lagi.
Penelitian di Universitas Texas A & M menunjukkan bahwa jagung Bt memiliki kadar racun mycotoxin (penyebab kanker) yang sangat rendah dibanding jagung biasa, karena pada jagung Bt tidak terdapat luka gigitan serangga yang biasanya menjadi tempat masuknya jamur penghasil mycotoxin (Benedict dkk, 1998).
Tanaman-tanaman produk rekayasa genetika (transgenik) kini telah ditanam secara luas di dunia. Menurut penelitian organisasi nirlaba ISAAA (International Service for the Acquistion of Agri-Biotech Aplication), penanaman produk rekayasa genetika merupkan satu-satunya teknologi pertanian digunakan secara luas oleh petani sehingga mengalami peningkatan yang pesat setiap tahunnya. Dengan tanaman hasil rekayasa genetika ini, para petani menjadi lebih puas terhadap produk pertanian. Produk ini telah berhasil memberikan berbagai keuntungan kepada petani misalnya memberikan hasil yang meningkat, memudahkan budidaya pertanian, serta lebih ramah lingkungan karena berkurangnya penggunaan bahan-bahan pestisida kimia. Total luas area tanaman transgenik untuk tahun 2001 adalah 52,6 juta hektar (James, 2001).
Analisa resiko tanaman produk rekayasa genetika
Pelepasan tanaman produk rekayasa genetika ke alam dipandang memiliki resiko terhadap lingkungan dan kesehatan manusia seperti misalnya kemungkinan tanaman transgenik tersebut menjadi gulma, kemungkinan terjadinya perpindahan gen pada spesies lain yang berakibat buruk, dan resiko kesehatan karena tanaman transgenik tersebut digunakan sebagai makanan.
Proses perpindahan DNA dari satu spesies ke spesies lain secara alami terjadi di alam. Bahkan dipercaya proses ini merupakan bagian dari proses evolusi biosfer planet bumi yaitu terjadinya perpindahan materi genetik ganggang hijau biru (merupakan nenek moyang sel tanaman) yang menyebabkan tanaman menjadi mampu melakukan proses fotosintesa yang secara drastis mengubah kondisi bumi yang tadinya tidak beroksigen (anaerobik) menjadi beroksigen (aerobik) (Suwanto, 2000).
Contoh lain misalnya ketahanan (survival) bakteri tanah Agrobacterium tumefasciens dengan mengintegrasikan sebagian genomnya pada tanaman, seperti pada pembuatan tanaman transgenik saat ini. Dengan demikian, proses perpindahan DNA pada tanaman transgenik tidak dengan sendirinya menimbulkan resiko namun yang dihasilkan dari ekspresi gen intraduksi-lah yang harus dikaji resikonya.
Berikut ini adalah petikan-petikan analisa resiko yang berasal publikasi The Royal Society of New Zealand (Conner, 1997) dan dari sumber-sumber lainnya.
1. Mungkinkah tanaman transgenik berubah menjadi gulma?
Seperti yang telah diuraikan di atas, tanaman budidaya memiliki tampilan agronomis yang jauh berbeda dibandingkan dengan tanaman nenek moyangnya yang mungkin lebih menyerupai gulma. Ciri-ciri gulma adalah biji memiliki masa dormansi (istirahat) yang panjang, mampu beradaptasi pada lingkungan yang beragam, pertumbuhan yang terus menerus, serta penyebaran biji yang lebih luas. Ciri-ciri kegulmaan ini telah dihilangkan pada tanaman budidaya melalui proses pemulian tanaman selama ratusan bahkan ribuan tahun. Pemindahan satu gen saja (misalnya gen ketahanan terhadap serangga, atau herbisida) tidak akan bisa mengembalikan semua karakter kegulmaan pada tanaman budidaya.

2. Mungkinkah gen baru dipindahkan kepada gulma dan menjadi gulma yang super?
Penanaman tanaman transgenik yang tahan terhadap herbisida mendatangkan kekhawatiran akan berpindahnya karakter tahan terhadap herbisida tersebut pada kerabat liarnya yang merupakan gulma sehingga tanaman tersebut dikhawatirkan menjadi tanaman gulma yang super. Kekhawatiran ini terutama mungkin terjadi jika tanaman tersebut ditempatkan di tempat keanekaragaman hayati (center of genetic diversity) tanaman transgenik tersebut. Tanaman-tanaman budidaya yang ditanam secara luas di Indonesia dan memiliki nilai tinggi berasal dari introduksi dari negara lain, seperti jagung yang berasal dari Meksiko, kedelai dari Cina, kapas dari India, kelapa sawit dari Papua Nugini, dan karet dari Brazil.
Perpindahan materi genetik dari tanaman budidaya ke tanman kerabat liarnya telah terjadi di tempat yang merupakan pusat keanekaragaman hayati tanaman transgenik itu. Isu ini perlu diperhatikan dan dicarikan jalan keluarnya. Dapat dikatakan bahwa isu ini tidak unik pada tanaman transgenik karena tanaman transgenik yang tahan herbisida tersebut bukan saja merupakan produk rekayasa genetika tetapi juga banyak tanaman tahan herbisida yang merupakan hasil pemuliaan tanaman itu sendiri.

3. Apakah jagung Bt membahayakan kupu-kupu Monarch ?

Telah dilaporkan daun tanaman milkweed yang ditaburi serbuk sari dari tanaman jagung hasil Bioteknologi (Bt) membunuh ulat Kupu-kupu Monarch di laboratiorium Unirversitas Cornell (Losey dkk, 1999). Laporan ini telah berturut-turut dibantah dengan penelitian yang dilakukan skala lapangan. Penelitian lapangan ini menyimpulkan bahwa di lapangan, tanaman milkweed yang merupakan satu-satunya sumber makanan ulat kupu-kupu Monarch, ternyata tidak hidup dan tidak tumbuh bersama-sama dengan jagung, masa reproduksi ulat Kupu-kupu Monarch juga tidak bersamaaan dengan masa pembungaan tanaman jagung, dan kalaupun serbuk sari jagung jatuh ke daun milkweed maka jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah serbuk sari yang dioleskan ke permukaan daun pada saat percobaan laboratorium di Universitas Cornell tersebut (Pleasant dkk 1999, sears 2000).
4. Apakah tanaman transgenik berbahaya bila dikonsumsi ?

Dr. Arpad Pusztai melakukan penelitian mengenai dampak buruk terhadap kesehatan tikus setelah diberi makan kentang transgenik yang mengandung gen lectin yang bersifat racun (Ewen dan Pusztai 1999). Dapat dikatakan bahwa kentang transgenik ini bukan produk komersial, kentang ini tidak mungkin lolos dalam pengujian keamanan pangan dan diijinkan untuk di komersialkan karena sebelumnya telah diketahui sifat lectin yang beracun. Selanjutnya, dalam pernyataan tertulisnya The Royal Society menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Puztai tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena mengandung kesalahan (flaw) baik dalam desain eksperimen, perlakuan maupun analisa hasilnya (The Royal Society Press Release, 18 Mei 1999).
Tanaman transgenik dapat berbahaya atau bermanfaat bagi manusia dan lingkungan tergantung tujuan pengembangannya dan tidak terlepas juga dari sifat gen yang diintroduksi. Apabila gen introduksi menghasilkan racun, maka tanaman transgenik dengan sendirinya akan menjadi racun. Kelebihan dari proses rekayasa genetika tanaman transgenik dibandingkan dengan pemuliaan tanaman secara tradisional yaitu dalam tanaman transgenik, gen yang dipindahkan dapat diketahui dengan persis dan dapat diikuti "perjalanannya".
Analisa toksisitas pada tanaman transgenik biasa dilakukan dengan menggunakan metoda acute gavage serta feeding studies pada binatang-binatang percobaan untuk menentukan apakah protein baru bersifat toksik atau tidak (Hamond dkk, 1996).
Sementara itu telah didokumentasikan bahwa tanaman-tanaman hasil pemuliaan tradisional pun dapat membahayakan kesehatan seperti varietas kentang Lenape dari AS dan Kanada dan varietas Magnum Bonum dari Swedia. Kedua varietas ini telah ditarik dari pasaran karena memiliki kadar racun glikoalkaloid yang tinggi (Zitnak dari Johnston 1970, Hellenas dkk 1995). Selain itu, varietas seledri yang resist (tahan) terhadap serangga hasil pemuliaan tradisional yang dilepas di Amerika Serikat ternyata memiliki kadar psoralen (karsinogen) yang tinggi (Ames dan Gold 1988).
5. Apakah produk rekayasa genetik (L-tryptophan) membunuh manusia ?
Penyakit EMS (Eosinophilia-Myalgia Syndrome) yang menyebabkan kematian pada manusia ternyata disebabkan oleh konsumsi makanan suplemen yang mengandung L-tryptophan (US FDA 1990). L-tryptophan dihasilkan dari hasil fermentasi bakteri Bacillus amyloliquefaciens. Untuk meningkatkan produksi asam amino ini, perusahaan pembuatnya yaitu Showa Denko merekayasa genetik bakteri Bacillus amyloliquefaciens. Pada saat bersamaan perusahaan itu juga mereduksi penggunaan karbon aktif yang diperlukan untuk menyaring kontaminan dan impuriti yang biasa terdapat pada setiap proses fermentasi sebanyak 50%.
Penyakit EMS (Eosinophilia-Myalgia Syndrome) [tryptophan] yang terjadi diakibatkan oleh proses penyaringan yang tidak sempurna. (Mayeno dkk, 1990 dan Hill dkk, 1993). Penyakit ini bukan disebabkan karena penggunaan transgenik bakteri.
6. Apakah produk rekayasa genetika dapat menyebabkan alergi ?
Alergi terhadap makanan diartikan sebagai reaksi imunologi (kekebalan) tubuh, yang mempunyai dampak merugikan kesehatan, terhadap antigen yang terdapat dalam makanan (Lehrer 1999). Lebih dari 90% kasus alergi terhadap makanan disebabkan karena makanan-makanan yang termasuk dalam "kelompok delapan" yaitu telur, ikan, makanan laut, susu, kacang tanah, kacang kedelai, pohon penghasil kacang (tree nuts), dan gandum (Taylor dan Lehrer 1996).
Rekayasa genetika memungkinkan terjadinya introduksi protein yang berasal dari sumber yang beragam pada makanan. Alergy and immunology institute dan Internasional food Biotechnology Council bersama dengan para pakar dibidangnya telah merumuskan protokol pengujian kemungkinan makanan hasil rekayasa genetika yang bersifat sebagai alergen (Metcalfe dkk, 1996). Untuk menguji makanan hasil rekayasa genetika yang tidak mengandung alergen dilakukan serangkaian pengujian meliputi identifikasi sumber gen apakah berasal dari "kelompok delapan" di atas.
Jika demikian, selanjutnya dilakukan pengujian-pengujian imunologis seperti solid phase immunoassay dan tes skin prick. Seandainya sumber gen tersebut bukan berasal dari "kelompok delapan", susunan asam amino protein introduksi kemudian dibandingkan dengan protein-protein yang telah diketahui bersifat sebagai alergen yang terdapat dalam database seperti GenBank, EMBL, SwisProt, PIR, untuk dilihat kesamaan susunan asam aminonya. Selanjutnya, stabilitas protein introduksi dianalisa sesuai dengan sifat allergen, karena juga allergen diketahui bersifat stabil pada suhu tinggi dan juga stabil pada sistem pencernaan. Beberapa contoh evaluasi alergenisitas tanaman hasil rekayasa genetika adalah sebagai berikut:

a). Kedelai yang mengandung gen kacang Brazil (Nordlee dkk).
Dalam upaya memperkaya protein kedelai dengan asam-asam amino yang mengandung gugus sulfur (seperti metionin), gen kacang Brazil yang kaya akan gugus sulfur telah dimasukkan ke dalam salah satu jenis kacang kedelai. Seperti diketahui baik kedelai maupun kacang Brazil, merupakan bagian dari " kelompok delapan" (tree nuts) yang dapat menyebabkan reaksi alergi. Evaluasi alergenisitas terhadap kedelai transgenik dengan gen dari kacang Brazil meningkatkan potensi alergenisitas kedelai tersebut. Dengan demikian, pengembangan kedelai dengan gen dari kacang Brazil kemudian dihentikan (Conner 1997, Lehrer 1999).
b) Meningkatkan kadar asam oleat (oleic acid) pada kacang kedelai. (Lehrer dan Reese, 1998).
Kedelai ini direkayasa genetiknya kadar asam oleiknya meningkat sehingga lemak yang terkandung dalam kacang kedelai tersebut menjadi lebih sehat. Proses rekayasa genetika yang dilakukan pada kacang kedelai ini adalah dengan meningkatkan kadar beberapa macam protein sehingga dikhawatirkan dapat pula meningkatkan potensi alergenitas pada kacang kedelai tersebut. Evaluasi alergenisitas kemudian dilakukan seperti halnya pada evaluasi kedelai dengan kacang Brazil di atas. Hasilnya terbukti bahwa kacang kedelai dengan kadar asam oleat tinggi tidak memiliki potensi alergenisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kacang kedelai biasa.
Dari contoh evaluasi alergenitas di atas dapat disimpulkan bahwa kemungkinan diintroduksinya alergen pada proses rekayasa genetika sudah dapat diprediksi dengan metoda deteksi yang memang sudah tersedia untuk mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan introduksi ini. Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa penambahan protein pada makanan yang bukan berasal dari kelompok delapan di atas, yang tidak memiliki kesamaan susunan asam amino dengan protein alergen yang ada di database serta protein pada sumber makanan tersebut mudah terurai (tidak stabil) pada pemanasan maupun pada proses pencernaan, tidak membuat tanaman transgenik tersebit menjadi lebih bersifat allergen dibandingkan dengan tanaman bukan transgenik.
Selain itu, dibandingkan dengan proses pemuliaan biasa, gen yang diintroduksi pada tanaman hasil rekayasa genetika, sudah diketahui persis susunan DNA-nya maupun protein hasil ekspresinya, sehingga kemungkinan adanya allergen pada tanaman hasil rekayasa genetika sudah dapat diprediksi lebih dini. Misalnya, penelitian di Jepang menunjukkan dengan rekayasa genetika telah dimungkinkan adanya pengurangan kadar protein allergen tanaman padi. (Matsuda dkk, 1993).

Penutup
Rekayasa genetika diyakini oleh pakar sebagai terobosan teknologi yang berpotensi untuk meningkatkan produktivitas pertanian per unit lahan yang diperlukan dalam mengimbangi jumlah pertambahan penduduk. Untuk menjamin keamanan produk pertanian hasil rekayasa genetika terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan, produk-produk ini harus melewati proses pengujian sebelum dipasarkan. Di negara-negara lain, metode-metode pengujian keamanan produk-produk pertanian hasil rekayasa genetika telah tersedia dan penelitian atas tanaman-tanaman transgenik yang kini dipasarkan telah diakui keamanan pangan (food safety) maupun keamanannya terhadap lingkungan, misalnya oleh badan-badan pengatur seperti Health and Welfare Canada (Kanada), Advisory Committee on Novel Foods and Process, Ministry of Agriculture, fisheries and Food (Inggris), National Food Agency (Denmark), Ministry of Agriculture, Fisheries, and Forestry (Jepang), Australia, Argentina, Malaysia, Afrika Selatan dan negara-negara lain.
Daftar Pustaka
• Addressing Today's Core Issues for Better Food & Industry Growth. 2000.
• Agricultural Biotechnology: Insect Control Benefits - 1999. National Center for Food & Agricultural Policy.
• Falck- Zepada, JB; G. Traxler and RG Nelson. 1997. Rent Creation & Distribution from Biotechnology Innovations. The Case of Bt Cotton and Herbicide Tolerant Soybeans in 1997 Agribusiness. In press.
• Hoban, T.J. Forum 4" Qtr 2000 95-105.
• Ismael, Y; L. Beyers;C, Thirtle & J.Plesse. 2000. Efficiency Effect of Bt Cotton Adoption by Smallholders in Makhathini Flats, Kwa-Zulu Natal, South Africa. 5 th International Conference on Blotechnology, Science & Modern Agriculture. Ravello, Italy.
• James, C. 1998. Global Review of Commercialized Transgenic Crops. ISAAA Bulletin
• K. Setiawan, F. Susilo , H. Ismono, M. Utomo. The Proceedings 18th APWSS Conference, Beijing
• Monsanto and Academic Field Trial Results. 1997 & 1998, unpublished results.
• Monkvold, GP;Hellmich, RL; Showers. 1997. Reduced Fusarium Ear Rot & Symptomless Infection in Kernals of maize Genetically Engineeredfor European Com Borer Resistance. Phytopathology 87(10): 1071- 1077.
• Pray, CE; D. Ma; J; Huang & F. Qiao. 2000. Impact of Bt Cotton in China. Rockefeller Foundation. In press.
• Saragih, E. 2000. RR-Corn Performance, Indonesia. Monsanto internal report.
• Sembodo, D.R.J. 2001. Herbicide Tolerant Crop (RR-Corn) Under Conservation Tillage System: Prospects & Challenge.
• The State of Food & Agriculture 2000. Food & Agriculture Organization of the United Nations. Rome - Page 1-330.